Kamis, 05 November 2009

Paradigma Penataan Kota Bahari

Apa yang terbayang dalam benak anda mengenai Kota Ternate? Pulau kecil dengan hasil bumi berupa rempah-rempah pala dan cengkeh, ataukah Kesultanan Ternate yang termasyur sejak ratusan tahun yang lalu ? Pernahkah terbayang oleh Anda, bahwa Pulau Ternate yang sekarang menjadi Ibu kota Maluku Utara, prosentase lautnya jauh lebih besar dari daratnya? Pemandangan tepi pantainya yang mempesona dengan kilau bening Tidore dan siluet nyiur sampai dermaga, serta deretan arsitektur heritage dengan benteng-benteng Portugis dan Belanda yang berjajar di tepi pantai adalah pemandangan eksotik yang Anda akan temui jika Anda berkesempatan mengunjungi kota ini. Yang menjadi pertanyaan….,mengapa semua potensi kelautan tersebut tidak menjadi primadona pengembangan di wilayah ini?

Jika Anda berkesempatan mempelajari lebih jauh mengenai kota Ternate, maka Anda menemui untaian masalah yang melingkupi keindahan panorama kota legenda ini. Urbanisasi penduduk yang tidak terkendali, memaksa kota bertumbuh secara semrawut dan tak terkendali. Permukiman kumuh padat penduduk, pencemaran laut berupa penimbunan sampah akibat tidak adanya instalasi pengelolaan limbah (IPAL), berpotensi untuk menyebabkan hilangnya pemandangan eksotik dan penurunan stok sumberdaya ikan di sekitar perairan kawasan ini. Kejadian-kejadian tersebut menjadi gurita masalah yang tidak jelas ujung pangkalnya.

Fenomena ini memaksa Pemerintah Kota Ternate untuk membuat “Waterfront City Concept for Kota Ternate”. Apakah itu “Waterfront City (WFC) Concept” atau yang lazim kita sebut kota pantai ? Konsep kota pantai (WFC) dapat didefinisikan sebagai konsep pengembangan kawasan dengan dukungan aksesibilitas, arus urbanisasi dan sumberdaya alam yang mendukungnya. Konsep WFC diharapkan dapat memberikan acuan pembangunan kawasan pesisir dengan berorientasi bahari, bukan sekedar pembangunan fisik semata akan tetapi juga pola pikir semua stake holder sehingga terciptanya sense of belonging yang tinggi. Melalui konsep ini diharapkan akan mendukung penguatan kelembagaan masyarakat lokal, meningkatkan ekonomi kerakyatan, dan pada muaranya akan menciptakan sinergisitas pembangunan di daratan dan di lautan untuk kepentingan bersama.

Potensi dan permasalahan yang terjadi di Kota Ternate, diurai menjadi kegiatan-kegiatan utama, dengan akses dan paradigma bahari. Pengelolaan lingkungan dan sampah, pengelolaan pelabuhan, penataan pemukiman tepi pantai dan nelayan, pengembangan kawasan khusus (seperti kawasan masjid, boulevard, community space, market centre) dan pengembangan wisata bahari menjadi rangkaian kegiatan yang dicanangkan dalam konsep pengembangan kota pantai ini. Kegiatan tersebut pelaksanaannya dirangkai dalam sembilan kawasan prioritas, kawasan cepat tumbuh, kawasan trigger ekonomi, kawasan aman atau definisi kawasan lainnya yang terdapat dalam RTRW dinamai Bagian Wilayah Kota (BWK) 1 dan 2; dari Dufa-dufa, dermaga kedaton, boulevard, masjid, sampai Pelabuhan Bastiong dan Kastela.

Perlu ditegaskan kembali, konsep WFC bukan semata-mata hanya berkaitan dengan pembangunan fisik, akan tetapi berkaitan pula dengan penerapan paradigma berpikir serta integrasi seluruh stake holders. Solusi parsial tak saja tidak akan pernah efektif dan cenderung menimbulkan biaya yang tinggi. Namun dengan integrasi semua pihak, kota berbasis bahari yang diidamkan akan tercapai.

Kunci lain untuk menjamin kesuksesan konsep WFC adalah kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat. Apalah arti angka-angka grafik ekonomi yang menjulang, kalau “kue” hanya dinikmati segelintir orang. Lebih baik diperoleh hasil sedikit tapi dapat memberikan senyum yang lebar bagi semua lapisan masyarakat. Dengan memberikan tambahan pengetahuan, meningkatkan kesempatan dan ikut serta memutuskan pembangunan bahari, niscaya akan diperoleh rasa Ikut memiliki, menjaga dan meningkatkan pembangunan kota eksotik ini.

Sumber : http://spatzi.wordpress.com/2008/09/21/paradigma-penataan-kota-bahari-waterfront-city-kota-ternate/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar